Pengelolaan Pendidikan Pantas Ditempatkan di Pusat
Doloksanggul,Mimbar
Sebaiknya semua sekolah, guru dan pengelolaan
anggaran sektor pendidikan dikembalikan ke kementrian. Alasan politik dan koptasi
terhadap pendidikan oleh kepala daerah dituding menjadikan pendidikan Indonesia
mundur. Bahkan Bupati, walikota maupun Gubernur bukan menjadi penentu kwalitas
pendidikan. Ini disebut Dr Togu Harlen Lumbanraja SE MSi, seorang Akademisi dan
pemerhati pendidikan, belum lama ini, terkait tarik menarik kepentingan
pengelolaan sekolah SMA sederajat oleh Kabupaten dan Provinsi sesuai dengan
amanat UU No 23 Tahun 2014 tentang otonomi daerah.
Togu berpendapat, penempatan kepala sekolah oleh
kepala daerah kerap bernuansa money politik. Bahkan ketika kepala sekolah akan
memulai programnya pada sekolah tadi, kepala daerah langsung menggantikan
dengan yang baru dengan alasan penyegaran. “Siapa yang dekat dengan Bupati
itulah yang memiliki kesempatan untuk menjadi kepala sekolah meskipun regulasi
untuk menduduki jabatan kepala sekolah sudah diatur tersendiri. Namun pada era
otonomi daerah penempatan kepala sekolah merupakan hak prerogative Bupati,”
katanya.
Tingginya cost politik yang digunakan oleh
Bupati dalam proses Pilkada merupakan alasan yang memaksa pada jual beli kursi
kepala sekolah. “Jika sekolah tadi dikelola oleh Kementrian, siapapun kepala
sekolah yang akan duduk, akan diseleksi secara objektive, artinya peraturan
yang mengatur tugas dan fungsi kepala sekolah akan berjalan lebih baik. Karena
menteri tidak tahu siapa kepala sekolah itu. Kita yakini nilai pendidikan
indonesia akan lebih tinggi,” tukasnya.
Ditanya terkait adanya kesungguhan Bupati maupun
walikota pada sektor pendidikan terlihat dari lahirnya sekolah unggulan bahkan
mengalokasikan anggaran ekstra pada APBD, Togu menilai bahwa keberadaan sekolah
unggulan hanya persoalan teknis dalam sistem pengelolaan sekolah. “Untuk
sekolah unggulan yang ada didaerah, masyarakat jangan ragu. Jika sistem tenaga
pendidik, rekrutmen siswa serta anggaran yang sudah ada sepenuhnya akan
ditindaklanjuti oleh Provinsi, karena anggaran untuk itu jelas sudah
dipersiapkan,” katanya.
Dalam sebuah kesempatan coffe morning itu,
seorang Pengamat pendidikan Tapanuli Raya Karmawan Silaban SPd juga mengatakan bahwa
di era reformasi, kabupaten dan kotamadya berlomba menciptakan kualitas sekolah
yang baik. Bahkan beberapa diantaranya sudah mencanangkan sekolah unggulan
setidaknya menciptakan kelas unggulan dalam unit sekolah dengan perlakuan
khusus hingga penganggaran di APBD. “Pengelolaan pendidikan merupakan hal yang
dilematis. Pasalnya, disatu sisi guru dan siswa merupakan populasi terbesar di
ASN sebagai objek koptasi politik. Pada sisi lain, kehadiran sekolah unggulan
sudah merupakan prestise di tingkat kabupaten maupun kotamadya berikut dengan
semua perlakuannya meskipun dimensi politik lebih medominasi keduanya. Jadi,
pengelolaan sekolah sebenarnya membutuhkan desaint tersendiri,” katanya.
Dia menyarankan, jikapun alasan regulasi memaksa
SMA sederajat dikelola oleh provinsi, sebaiknya Bupati dan ketua DPRD membangun
komitmen mempertahankan SMA unggulan yang sudah ada. “Contohnya SMA N 2 Lintong
Nihuta yang sudah menyedot investasi milyaran rupiah, komitmen pengelolaan dapat
diusulkan pada provinsi untuk dijadikan SMA binaan Kabupaten Humbahas, begitu
juga kabupaten lainnya yang memiliki sekolah unggulan. Ini merupakan winwin
solution dipengelolaan sekolah unggulan dan regulasi untuk itu ada aturanya,”
katanya.
Karmawan juga menginformasikan, tarik menarik
kepentingan pengelolaan sekolah SMA sederajat sudah dimintakan beberapa
Kabupaten maupun Kotamadya untuk di tinjau kembali melalui Makamah Kontitusi
(MK). “Ada 46 Kabupaten dan Kotamadya yang melakukan gugatan ke MK terkait UU
No 23 Tahun 2014. Jadi kita tunggu saja hasilnya dan berharap adanya solusi
lain yang lebih baik lagi kedepan,” pungkasanya. (Fir)
Foto : Karmawan Silaba
Komentar
Posting Komentar