Paket Proyek di Balai Wilayah Sungai (BWS) Diduga “ Ladang “ KKN



Mimbar,Medan
            Menurut Dwi Ari Wibawa SIP, M.M seorang Widyaiswara muda di Badan pendidikan dan pelatihan keuangan kementerian menjelaskan bahwa harus ada pemahaman tentan praktik-paraktik  yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa.
“ Pengadaan barang dan jasa yang baik diperlukan dalam menunjang berjalannya roda perekonomian bangsa. Berbagai temuan dan laporan dari aparat pemeriksa banyak menunjukkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa ini. Penyimpangan ini ditandai dengan banyaknya kasus penanganan tindak pidana yang ditangani oleh aparat hukum” katanya.
Lanjutnya, ada beberapa praktik yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa antara lain penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga, mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan barang dan jasa.
Pembangunan sarana maupun prasarana dalam menunjang roda perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Pembangunan sarana dan prasarana ini tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang baik. Namun dalam pelaksanaannya seringkali dijumpai berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah ternyata nilainya luar biasa besar. BPKP menyatakan bahwa jika dilihat dari belanja barang dan jasa Pemerintah telah terjadi kebocoran rata-rata 30% atau sekitar 25 Triliun Rupiah. Angka tersebut diperhitungkan hanya berdasarkan dari anggaran Pemerintah pusat saja dan belum diperhitungkan dengan anggaran pemerintah daerah.  
Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsiyang paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Pada periode 2004-2010 lalu, 44 persen kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi tertinggi yang ditangani KPK. Tertinggi kedua adalah Kasus penyuapan yang mencapai 29 persen.
Seakan tak ada habisnya, kondisi sebagaimana dimaksud pakar ini sepertinya masih saja ditemui di berbagai daerah. Dibuktikan dengan berkembangan nya pemberitaan tentang dugaan permasalahan dalam proses tender dan pengerjaan sejumlah paket proyek. contoh dugaan kasus yakni sejumlah paket proyek bernilai milyaran rupiah di Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Kementerian PUPR APBN 2017 .
 Berdasarkan penemuan awak media, terdapat beberapa kegiatan proyek yang diluncurkan BWS dimana perhitungan anggarannya diduga mengunakan “ rumus kelas sekolah dasar”. Terdapat unsur kesengajaan dalam melakukan penggelembungan anggaran pada rencana anggaran belanja (RAB) kegiatan di beberapa paket proyek, diantaranya proyek normalisasi atau pemeliharaan sungai aek Mardubur Kabupaten Toba Samosir yang dimenangkan oleh CV. Putra Natama Engineering dengan nilai penawaran Rp. 832.448.100,- setelah sebelum nya dibuka pagu pengumuman kurang lebih sebesar Rp. 1,2 Milyar APBN tahun 2017.
Kemudian proyek pemeliharaan embung Hatoropan Kabupaten Humbang Hasundutan yang dimenangkan oleh CV. Dormauli Utama dengan nilai penawaran Rp. 1.983.047.000,- (1,9 milyar) APBN tahun 2017.
 Pada kegiatan proyek normalisasi sungai aek mardubur, Sianipar selaku pelaksana lapangan CV. Putra Natama Engineering kepada awak media melalui saluran telepon beberapa waktu lalu mengatakan bahwa berdasarkan document kontrak pihaknya diminta melakukan pemeliharan terhadap bibir sungai sepanjang 2,8 KM dengan menggunakan alat berat, selain itu melakukan pembabatan dan pemotongan pohon deng menggunakan mesin babat dan gergaji mesin potong kayu dengan masa kerja 240 hari.
Namun kenyataan nya dilapangan, pengunaan alat berat dan massa pembuatan dip sungai aek mardubur jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan. Sehingga diduga, terdapat sisa lebih anggaran yang sangat cukup besar dari yang dianggarkan sebelumnya. Sebab, Sianiapar mengaku bahwa pengoperasian alat berat untuk pengerukan sungai hanya berlangsung selama 17 hari dan dikalkulasi dengan harga sewa alat berat per hari dengan nilai maksimal 10 juta. Akan tetapi para pekerja yang dipakai perusahaan ini justru mengatakan bahwa pengoperasian alat berat justru kurang dari dua minggu. “ tidak sampai dua minggu beroperasi alat berat nya “ kata R. Aruan kepada awak media ketika ditemui dilokasi kegiatan.
Ironisnya, para pekerja tersebut mengatakan bahwa pengawas dan pimpro atas proyek ini jarang sekali meninjau kegiatan tersebut. Pengawas kegiatan proyek BWS bermarga Hutapea yang tanpa sengaja bertemu dengan wartawan terkessan menghidar ketika ingin dimintai keterangan.
Sedangkan untuk proyek pemiliharaan embung hatoropan yang berada di desa Hutagurgur kecamatan doloksanggul dengan nilai kontrak Rp. 1,9 milyar dikabarkan dikerjakan asal jadi. Sebab dalam amatan sejumlah awak media dan masyarakat sekitar, terdapat kerusakan pada proyek yang sedang berjalan tersebut. Hebat nya lagi, pejabat dan pengawas yang terkait dengan kegiatan dimaksud juga tidak pernah tampak turun kelapangan. Para pekerja yang ditemui para awak media mengaku “ tidak ada yang mengawasi. Mungkin pengawasnya keluar. Kami disini hanya sebagai pekerja” jawab nya. (Fir)




Komentar