Saat nya Kepala Daerah Memikirkan Terobosan Bukan Pencitraan
Oleh :
Firman Tobing
Konfigurasi nyata atas perubahan kemajuan pembangunan di
berbagai Daerah untuk segala sector menjadi catatan penting yang harus diimani,
serta serius dijalankan oleh para kepala daerah di Indonesia. Sinergitas yang
erat dan solid antara legislatif dan eksekutif menjadi pondasi yang
sangat-sangat kokoh untuk mencapai puncak menara keberhasilan dalam pembangunan.
Komitmet teruji pada kedua Konseptor ini (Legislatif dan Eksekutif-red)
merupakan kunci utama panen raya buah kemenangan dalam mewujudkan kemandirian
dan kesejahteraan social.
Namun kondisi masa depan yang saat ini masih didampakan
oleh seluruh lapisan masyarakat cemderung terbentur dengan ragam kepentingan
yang senantiasa terpendam dala sanubari oknum-oknum kepala Daerah. Serta ditunggangi
tanggung jawab besar dari pemegang panji-panji lembaga politik dan kroni-kroni
yang mengambil peran strategis pada pagelaran politik di pentas pemilihan
kepala daerah.
Oleh karenanya,
konsentrasi para pemengang tongkat kekuasaan di berbagai daerah, seperti pusat,
provinsi dan Kabupaten/kota atas
janji-janji pembangunan yang disuarakan kepada khalayak menjadi terganggu dan
hanya guyonan politik. Guna mengakomodir segala kepentingan yang seakan tak
rela lepas, oknum kepala daerah kerab menggunakan formula untuk membentuk rezim
dinasty. Tembang pencitraan yang dikemas dalam bentuk kaset CD dan
diedarkan kan oleh sejumlah Media koalisi yang pro penguasa ke pelosok penjuru
menjadi alternative jitu. Masyarakat yang dominan dengan azas opportunis tidak
lagi memikirkan masa depan, namun lebih kepada kepentingan pribadi. Dan itu
menjadi peliharaan sang penguasa atau Kepala Daerah dalam meletakan batu
pertama Dinasty kekuasaan politik.
Perubahan nyata terhadap paradigma masyarakat kea rah
yang lebih cerdas menjadi prioritas utama yang sifatnya insidentil bagi stake
holder bangsa ini. Terobosan guna mencapai kesejahteraan social dan berintelektual
tinggi serta berbudi pekerti harus segera dirancang. Sebab, ini lah wujud nyata
kemajuan daerah yang terkombinasikan dalam mencapai INDONESIA JAYA.
Menurut sumber yang diperoleh (Herru Widiatmanti,S.E, M.E),
reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbang nya rezim Orde baru
masih sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Belum menyentuh
paradigma, Mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (Nation Building). Nation Building tidak
mungkin maju kalau sekedar mengandalkan perombakan institusional tanpa
melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan system ini. Sehebat
apapun kelembagaan yang diciptakan, selam ia ditangani oleh manusia dengan salah
kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Agar perubahan benar-benar bermakna
dan berkesinambungan sesuai dengan cita-cita proklamasi Indonesia yang merdeka,
adil dan makmur, maka perlu melakukan langkah kongkret, terutama merevolusi
mental birokrasi sebagi motor penggeraknya.
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan
harus diubah agar menjadi lebih baik, yaitu birokrasi yang mau melayani dengan
sepenuh hati (wiling to give good
services). Murah biayanya,serta mempercepat layanan dan bukan sebaliknya. Hal
tersebut perlu diwujudkan, karena masyarakat kita saat ini semakin
berpendidikan, semakin kritis serta lebih mengetahui hak-haknya untuk
mendapatkan pelayanan public yang berkualitas. Perlu diingat bahwa Indonesia telah
masuk menjadi salah satu anggota kelompok G-20 bersama dengan banyak Negara maju
lainnya yang kualitas birokrasinya sudah sangat efektif dan efesien. Oleh karena
itu sudah saat nya birokrasi dikelola dengan paradigma New Publik Management
(NPM).
Seperti yang dikutip dari para pakar
Osborne dan Gaebler (1995) menyatakan bahwa paradigma birokrasi New Public
Management (NPM) memiliki cirri-ciri : (1) pemerintah berorientasi pada public,
(2) pemerintah berorientasi pada misi, (3) pemerintah yang tanggap, (4)
pemerintah yang berorientasi pada hasil dan bukan sekedar input, (5) pemerintah
kompetitif, (6) pemerintah berjiwa wirausaha, (7) pemerintah terdesentralisasi,
(8) pemerintah milik masyarakat, (9) pemerintah katalis, dan pemerintah berorientasi
pada pasar.
Untuk dapat mewujudkannya, yang harus
dipersiapkan adalah birokrasi harus memiliki pola fikir (mindset) dan budaya
kerja yang produktif, efesien, dan efektif, transparan dalam memberikan
pelayanan public, serta komtment atas reward bagi aparatur sipil Negara (ASN)
yang benar-benar berprestasi dan menjunjung tinggi integritas. ***
Komentar
Posting Komentar