Puluhan Milyar Uang Negara Dipergunakan Untuk Pembelian Material Galian C Ilegal, DPRD “ Cuek bebek”



Humbahas,Mimbar
            Opini tentang dugaan pelanggaran dan adanya persengkongkolan pada proses tender hingga pelaksanaan 14 paket pekerjaan pengaspalan jalan dengan hotmix yang bersumber dari APBD Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) Tahun Anggaran 2015 dengan total biaya hampir mencapai 55 Milyar semakin semarak. Point persyaratan yang tercatat di Bab V Lembar Data Pemilihan (LDP) dan Lembar Data Kualifikasi (LDK) dalam penetapan pemenang tender oleh Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) menjadi pemicu persolan serius pada pertanggung jawaban keuangan Negara. Dimana ditegaskan bahwa pembelian bahan/material Quarry tidak diperkenankan dari lokasi izin Ilegal.
            Menyikapi kondisi tersebut, Kristopel Simamora beserta sejumlah rekanya dengan mengatasnamakan forum rakyat pemerhati Humbang Hasundutan telah menghimbau dan memberi peringatan keras kepada pemerintah melalui Pokja dan ULP melalui surat somasi. Bahkan surat somasi tersebut, telah ditembuskan kepada pihak-pihak yang berkompeten seperti, Bupati, DPRD, Kepolisian dan Kejaksaan agar dilakukan pengawasan ekstra. Namun tanggapan atas surat somasi yang diajukan oleh kelompok Pemerihati ini  belum direspon dengan maksimal. Point penting yang diajukan oleh kelompok masyarakat ini dalam surat somasi tersebut, dimana diminta kepada DPRD supaya berkenan memanggil ULP,pokja ULP,PPK,APIP, Kapolres dan 14 pemilik Perusahaan pemenang tender.
            Kristopel Simamora yang kemudian ditemui awak media Kamis,(10/11) menduga terdapat korporasi politik yang terjadi antara ketua DPRD dengan pihak eksekutif dalam hal ini oknum-oknum penyelenggara pemerintahan. Sebab hingga kini, dari mulai surat somasi pertama dan kedua Pimpinan DPRD belum juga mendiskusikan hal tersebut di internal mereka. Oleh karenanya, pantas jika seandainya DPRD dituding tidak pro aktif menyikapi persoalan pembelian material galian C yang Ilegal dalam 14 paket kegiatan pengaspalan jalan dengan Hotmix melalui dana APBD TA 2015 Pemda Humbahas” tukasnya.
            Sebelumnya, ketua Komisi C Chandra Mahulae kepada awak media juga membenarkan bahwa sesuai hasil kordinasi yang dilakukan pihaknya dengan Dinas Pertambangan Provinsi Sumatera Utara (Provsu), menyebutkan pengakuan Dinas yang bersangkutan yang menyatakan bahwa Izin galian C di Kabupaten Humbang Hasundutan tidak pernah ada. “ kita sudah kordinasi dengan dinas Pertambangan Provsu, mereka telah mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa di Humbang Hasundutan belum ada izin galian C. Tentunya, Pokja ULP faham dengan hal tersebut” katanya.
            Wakil ketua DPRD Humbahas, Jimmy Togu Purba dalam sebuah kesempatan kepada Awak Media mengaku bahwa terkait surat somasi yang dilayangkan oleh sekelompok masyarakat tentang dugaan pembelian bahan/material quarry galian C illegal sampai  kini belum masuk dalam agenda pembahasan, karena masih di meja kerja ketua Dewan. Diperkirakan jadwal rapat-rapat yang sedang berlangsung saat ini, mulai dari penyampaian nota peritungan, penetapan P-APBD hingga pembahasan R-APBD 2017 menjadi pengalihan perhatian DPRD untuk sementara ini. “ saya pernah dengar tentang surat itu, namun hingga kini belum ada pembahasan. Mungkin karena sedang sibuk nya dengan rapat-rapat saat ini sehingga surat tersebut masih menjadi dokumen antrian di ruang ketua Dewan untuk kita bahas bersama nantiny” jelas politisi Gerindra itu.
             Jawaban yang sama juga disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Manaek Hutasoit kepada Mimbar. Dirinya (Manaek Hutasoit-red) mengatakan bahwa pihaknya belum dapat melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak sebagaimana yang disebutkan dalam surat somasi tersebut. hal itu dikarenakan kesibukan jadwal pembahasan yang begitu padat. Namun politisi Partai Golkar ini menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pemanggilan tersebut setelah semua agenda rapat pembahasan P-APBD 2016 dan R-APBD 2017 dengan pihak eksekutif selesai.
            Ironisnya, Pejabat Pembuat Komitment (PPK) pada Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten Humbahas, Petrus Aritonang justru mengakui bahwa segala syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pokja ULP menjadi nota kesepakatan dalam perjanjian kontrak kerja yang dibuat oleh nya (Petrus-red). Terkait pengawasan terhadap legalitas bahan/material quarry galian C yang telah ditetapkan oleh Pokja menjadi tanggung jawab pengawas lapangan dan Pokja. Sebab, dirinya selaku PPK hanya sebatas menerima laporan” tukasnya.
            Menanggapi hal ini, Dwi Ari Wibawa SIP, M.M seorang Widyaiswara muda di Badan pendidikan dan pelatihan keuangan kementerian menjelaskan bahwa harus ada pemahaman tentan praktik-paraktik  yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa.
“ Pengadaan barang dan jasa yang baik diperlukan dalam menunjang berjalannya roda perekonomian bangsa. Berbagai temuan dan laporan dari aparat pemeriksa banyak menunjukkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa ini. Penyimpangan ini ditandai dengan banyaknya kasus penanganan tindak pidana yang ditangani oleh aparat hukum.
Ada beberapa praktik yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa antara lain penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga, mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan barang dan jasa.
Untuk mengantisipasi berbagai resiko pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilakukan antara lain dengan menghindari resiko yaitu dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang tepat, memindahkan resiko kepada pihak lain yaitu dengan meminta penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas, atau dengan mengurangi resiko yaitu dengan melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancang kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK” bebernya.
Pembangunan sarana maupun prasarana dalam menunjang roda perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Pembangunan sarana dan prasarana ini tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang baik. Namun dalam pelaksanaannya seringkali dijumpai berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah ternyata nilainya luar biasa besar. BPKP menyatakan bahwa jika dilihat dari belanja barang dan jasa Pemerintah telah terjadi kebocoran rata-rata 30% atau sekitar 25 Triliun Rupiah. Angka tersebut diperhitungkan hanya berdasarkan dari anggaran Pemerintah pusat saja dan belum diperhitungkan dengan anggaran pemerintah daerah.
Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsiyang paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Pada periode 2004-2010 lalu, 44 persen kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi tertinggi yang ditangani KPK. Tertinggi kedua adalah Kasus penyuapan yang mencapai 29 persen.
Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Definisi korupsi itu sendiri diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Definisi didalam pasal tersebut memuat unsur-unsur; secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri; orang lain atau suatu korporasi; yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Faktor-faktor yang menjadikan pengadaan barang dan jasa sebagai ladang subur praktek korupsi, diantaranya adalah banyaknya uang yang beredar, tertutupnya kontak antara penyedia jasa dan panitia lelang dan banyaknya prosedur lelang yang harus diikuti. Proses pengadaan ini walaupun tercium adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi pembuktiannya sangat sulit karena sistem administrasi dari pemberi dan penerima pekerjaan ini sangatlah rapi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses yang terbuka dalam pengadaan barang dan jasa. Proses yang transparan ini akan memberikan kesempatan yang sama kepada penyedia barang dan jasa dan dalam pelaksanaannya akan mendapatkan pengawasan dari masyarakat.
Lanjut dikatakannya, terdapat 3 (tiga) unsur untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, Pertama, menyalahgunakan kewenangannya, kedua, memberikan keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan ketiga, menimbulkan kerugian keuangan negara. Bila proses yang sedang berjalan, walaupun belum final/akhir, namun sudah ada indikasi atau "dugaan kuat" adanya penyimpangan bisa atau dapat dikategorikan pelanggaran terhadap UU Korupsi” tegasnya. (Fir)

Komentar