“ Pansus Angket Humbahas akan Menjadi Fakta Sejarah Nasional “ ??
Sesuai
data terkini, Indonesia terdiri dari 515 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut,
memasuki 72 tahun Indonesia saat ini, masyarakat atau yang disebut publik belum
begitu akrab dan mengenal kata” HAK ANGKET DPR “. Bahkan materi pemahaman
tentang Hak angket Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) yang disuguhkan dalam dunia
pendidikan dasar hingga lanjutan dalam produk buku pembelajaran tahun kurikulum
1990 s/d 2002 kala itu, tidak begitu dipaparkan secara jelas fungsi dan tujuan
utama lembaga Dewan Perwakilan Rakyat ini berdiri. Sepertinya ada upaya
pengahambatan pengenalan makna demokrasi sesungguhnya. Hal tersebut dilakukan
guna mengantisipasi pemberontakan atas sebuah ketidak jujuran yang secara terus
temerus terjadi.
Hal
ini lah sebenarnya penting dipahami masyarakat, sebab melalui ini rakyat dapat
benar-benar merasakan secara langsung serta menguji secara nyata keterwakilan
nya di kursi DPR melalui mereka-mereka yang mengaku wakil rakyat atau wakil
tuhan (sebab suara rakyat, suara tuhan).
Pada
sejarah lembaga perwakilan di Indonesia mulai sejak tahun 1945 sampai tahun
2011 sekarang ini dapat dihitung, berapa kali Lembaga Perwakilan tersebut
mengajukan hak menyelidiki atau hak angketnya untuk mengontrol dan mengawasi
kebijakan pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Secara normatif hak angket
diatur dalam UUD 1945 pasal 20A ayat (2), kemudian diperjelas lagi dengan
Undang-undang No 27 Tahun 2009. Jauh sebelum kedua peraturan normatif tersebut
lahir pada masa orde lama, yaitu masa parlementer, telah dikeluarkan
Undang-Undang mengenai hak angket yaitu UU No 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket.
Meskipun
undang-undang ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah
UUD Sementara Ta-hun 1950, tetapi sampai sekarang masih digunakan. Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, UU Nomor 6
Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD
1945. tidak ada keragu-an apa pun bagi DPR menggunakan ketentuan-ketentuan
dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket DPR. Kedua
peraturan normatif tersebut memiliki cara dan syarat yang berbeda dalam
mekanisme pengajuan hak angket ter-sebut. Faktor atau alasan mengapa hak angket
tersebut diajukan, menjadi penyebab utama perbedaan dari kedua mekanisme
tersebut.
Implementasi
Hak Angket Dalam Mengontrol Kebijakan Pemerintah.
Sebagi
salah satu contoh setelah bergulirnya UU tentang Hak angket tersebut pada masa
orde lama telah diajukan hak angket. Pada sejarah ketatanegaraan Indone-sia,
hak angket digunakan kali pertama pada 1950 an. Berawal dari usul resolusi RM
Margono Djojohadikusumo agar DPR mengadakan angket atas usaha pemerintah
memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Maka kemudian dibentuklah Panitia
Angket beranggotakan 13 orang, diketuai Margono, yang tugasnya menyelidiki
un-tung rugi mempertahankan devi-sen-regime berdasar Undang-Undang
Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-perubahannya.
Panitia
Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agus-tus 1955)
ini mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali
dan menyelesaikan tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin
Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan
deng-an terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955 (Kabinet AH Sastroamidjojo-II)
itu nasib-nya tidak jelas.
Berbeda
ketika masa orde baru, hak angket menjadi tak berdaya melawan kekuasaan yang
otoriter. Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar
sebagai fraksi penopang pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat lo-los
masuk dalam sidang pleno DPR 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI
dan 6 dari FPP) menan-datangani usul penggunaan hak angket yang kemudian
diserahkan R Santoso Danuseputro (FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada
Ketua DPR kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para
pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H
Thahir dan Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam si-dang pleno
DPR 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang uniknya
dilakukan tujuh anggota FKP sendiri. Usul angket tentang Pertamina tersebut
dican-tumkan rencana pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang
dengan 24 anggota pengganti, plus sejumlah tenaga ahli yang khusus dipekerjakan
untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp 108 juta. Panitia angket
diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan setiap bulan bersidang sedikitnya empat
kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang
hingga sekitar 75 kali.
Reaksi
keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi ABRI yang
menyoal perlunya menggunakan hak angket. Nasib selanjutnya pun sangat jelas:
hak angket ditolak. Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak ini
nya-ris tak pernah terdengar lagi gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang pada
1998.
Kerajaan
Soeharto runtuh pada tahun 1998, maka mulai ada pergerakan di parlemen. Mulai
mengamandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone-sia hingga hak-hak
parlemen yang selama 32 tahun terpasung mulai berdunyut kem-bali. Pasca
reformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi ketika DPR
mencium keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam penyalahgunaan uang
Yayasan Dana Kese-jahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket digunakan untuk
menyelidiki penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan Brunei atau
yang lebih dikenal dengan istilah Bulog-gate dan Bruneigate (Anton Pranoto,
2010: 8).
Tidak
seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus Dur untuk
membubarkan parlemen itu berujung pada impeachment presiden. Pada
periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hak
angket pernah dicoba digulirkan atas sejumlah kasus, di antaranya menyangkut
ke-naikan harga BBM yang mengundang reaksi maliasiswa, masalah impor beras
2006, penyelenggaraan ibadah haji 2008, dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT)
Pemilu 2009. Namun, usaha tersebut hanya menghasilkan keputusan normatif. Ketua
DPR HR Agung Laksono ketika pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa
Persidangan I Tahun Sidang 2009-2010, pertengahan Agustus lalu mengaku bahwa
DPR masih terus berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam
proses
Beberapa
di antaranya menuntaskan hak angket me-nyangkut penyelenggaraan ibadah haji
1429H/2008, hak angket DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan Pemerintah
menaikkan harga BBM. Tapi belum lagi itu ditun-taskan, kini menggelinding
usulan penggunaan hak angket soal dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun
menjadi buah bibir dari berbagai kalangan politikus di DPR.
Belajar
dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket nampak hanya menjadi se-buah keputusan
normatif tanpa ada solusi yang dapat diberikan. Padahal peraturan Tata Tertib
DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pe-merintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan berma-syarakat
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Sehubungan
dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah “menyela-matkan” Bank Century
dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak Angket DPR ka-rena berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebija-kan itu juga
berkaitan dengan keuangan negara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar
bertentangan dengan UU sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus “dibukti-kan”
melalui penggunaan hak angket itu. Carut-marut pengucuran dana talangan Bank
Century yang menyeret keter-libatan beberapa pejabat negara, seperti guber-nur
BI dan Menkeu, mendorong sejumlah anggota Dewan menggulirkan hak angket untuk
mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi DPR menggali keterangan ahli dan
semua pihak terkait dengan aliran dana dan masalah lainnya yang terkait dengan
“penyelamatan” Bank Century. Harapannya dengan penggunaan hak angket muncul
konklusi yang lebih objektif, bukan asal kritis.
Sebab,
orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Keingintahuan DPR bukan sebatas
mendengar apologi pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya
di balik kebijakan pe-merintah terhadap pengawasan bank-bank selama ini. Hasil
audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century dapat
digunakan (atau tidak digunakan) oleh panitia angket DPR. Nantinya, DPR da-pat
saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain, bila hasil audit BPK
berke-simpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century sudah sesuai dengan
prosedur, kesimpulan itu dapat dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres Boediono
memiliki peran terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya menjadi
Gubernur BI. Pada titik inilah kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk menguak
persoalan seputar penyelamatan Bank Century menjadi amat penting dilakukan. Persoalan
Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak angket kepada pim-pinan DPR
(12/11/2009). Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut di-kabarkan
terus ber-tambah.
Wapres
Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyata-kan bahwa
penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi (13/11/2009).
Maka banyak pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil
dilaksanakan, tidak kempis di tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada
masa sebelumnya. Modal kejujuran dan kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR
selaku pemilik Hak Angket.
Efektifitas Hak Angket DPR dalam mengawasi
kebijakan Pemerintah
Hak angket merupakan salah satu hak konstitusional Dewan
Perwakilan Rak-yat (DPR). Namun, dalam praktiknya upaya penggunaan hak angket
hanya menjadi mission impossible. Buktinya, sejak digulirkan pertama
kali pada tahun 1950an sam-pai sekarang Hak angket tidak menemukan titik muara
seperti apa yang telah termak-tub dalam UU No 6 tahun 1954 tentang Hak Angket
maupun UU No 27 Tahun 2009. Hak angket seperti hanya merupakan pelengkap dari
parlemen dan mungkin saja hanya merupakan permainan politik dari partai-partai
yang menduduki kursi wakil rakyat tersebut.
Mengapa begitu sulit menggunakan hak angket? Sebetulnya,
sebagaimana di-nyatakan pada bagian awal, hak angket merupakan salah satu hak
konstitusional DPR. Pasal 20A UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi
legislasi, anggaran, dan penga-wasan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, DPR
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Bahkan,
demi mendukung hak konstitusional itu, setiap anggota DPR mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Kandasnya beberapa kali upaya usulan menggunakan hak angket
membukti-kan bahwa DPR gagal memaknai arti penting hak konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945. Bagaimanapun, hak angket adalah salah satu alat yang
mesti digunakan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Apalagi kalau kebijakan
pemerintah mem-berikan dampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Penggunaan
hak itu menjadi sebuah keniscayaan ka-lau kebijakan pemerintah diduga
bertentangan dengan per-aturan perundang-undangan.
Kalau kegagalan itu diletakkan dalam sistem pemerintahan, praktik
sistem presidential Indonesia sedang berada dalam jebakan parlementer.
Maksudnya, mayo-ritas kekuatan politik di DPR lebih berperan sebagai pendukung
kebijakan pemerin-tah ketimbang menjadi mitra kritis. Setidaknya, kegagalan
usulan hak angket sebe-lum-sebelumnya memperkuat anggapan yang berkembang
selama ini bahwa DPR sulit (tidak mungkin) keluar dari kepentingan politik
pemerintah. Artinya, penilaian bahwa DPR merupakan tukang stempel kebijakan pemerintah
sulit dimentahkan.
Hal
ini dibuktikan dengan lebih dari 70 persen anggota DPR periode 2009-2014
berasal dari partai yang berkoalisi dengan pemerintali. Koalisi ini juga secara
dominan “menguasai” kursi ketua komisi-komisi. Sembilan dari sebelas kursi
ketua komisi diduduki wakil rakyat dari partai koalisi. Akibatnya, meskipun
secara legal-formal kita berada dalam legislative heavy, secara praksis
diperkirakan kita telah ber-alih ke executive heavy. Ibarat berada di
kandang macan, kita sekarang berada di kan-dang yang macannya sudah dicabuti
giginya. Macannya tetap sebagai macan, namun telah kehilangan kekuatannya.
Bahkan, tidak lagi memiliki kemampuan mengunyah makanan. Itulah kira-kira
analogi bagi DPR sekarang yang berada dalam atmosfer executive heavy.
Oleh
karenanya, bukan ayat undang-undang yang diubah, sehingga lokus ke-wenangan
berubah, melainkan pengaruh terhadap orang di dalamnya yang berubah dari
potensial sebagai spoiler menjadi suporter pemerintah. Dari potensi
penentang menjadi pendukung. Adanya pengaruh yang jauh meresap ke legislatif
tersebut, dapat diartikan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berhasil
melakukan hegemoni terhadap ruang kekuasaan lain. Koalisi besar bermakna
“penyatuan kembali” sepa-ration of power.
Pada
posisi kondisi executive heavy seperti ini, apa yang akan terjadi dalam
berne-gara ke depan? Pertama, DPR yang isinya didominasi “orang-orang
presiden” diprediksi tidak mampu melaksanakan fungsi pengawasan. Koalisi besar
akan mem-belenggu wakil rakyat melalui fraksi-fraksi sebagai kepanjangan
tangan. Akibatnya, kemauan membela kepentingan rakyat semakin lemah, kecerdasan
dalam men-jalankan tugas-tugas sebagai legislator menjadi tumpul, serta simpati
dan empati ter-hadap kesulitan rakyat tak lebih sekadar polesan citra. Kondisi
ini memunculkan pesimisme. Pada saat hegemoni belum terjadi, DPR telah
memperlihatkan kelema-han, seperti interpelasi lumpur Lapindo yang layu sebelum
berkembang pada per-tengahan 2007, rontoknya usulan penggunaan hak angket untuk
menyelidiki pelang-garan dalam penunjukan ExxonMobil Ltd sebagai pemimpin
operator lapangan mi-nyak Blok Cepu pada Juni 2006, dan gagalnya hak angket
impor beras, Januari 2006. Setelah era hegemoni ini, catatan kelemahan
diprediksi semakin panjang. Kedua, DPR tidak akan mampu menilai dan
menyaring kritis RUU inisiatif pemerintah. Ini kurang lebih menjadi sama
seperti DPR era Orde Baru. DPR tak lebih sebagai lembaga yang memuluskan
keinginan pemerintah.
Ini
akan berakibat produk legislasi yang dihasilkan cenderung akan kental dengan
kepentingan kelompok atau golongan. Saat DPR belum terhegemoni, produk
undang-undang seperti ini masih ada yang lolos, misalnya UU No 38 Tahun 2004
tentang Jalan yang isinya menetapkan bahwa tarif tol secara otomatis akan naik
setiap dua tahun. Setelah terhegemoni, UU yang aneh serta memberatkan rakyat
seperti itu berpotensi lebih banyak muncul. Maka selanjutnya, diprediksi banyak
anggota DPR yang kehilangan kemampuan “mengunyah makanan”. Mereka kehilangan
kemampu-an melaksanakan fungsi pengawasan dan legislasi. Tegasnya, DPR
2009-2014 akan didominasi oleh manusia instrumental, yang berperan sebagai alat
yang memuluskan berbagai kebijakan pemerintah. Executive heavy seperti
ini jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. Penyatuan kekuasaan ini tersamar
dalam separation of power secara legal-formal. Akibatnya, otoriterisme
yang amat mung-kin semakin dekat, terbungkus dalam sistem yang terlihat
demokratis. Secara perlahan ke-ramaian bernegara akan berakhir dan menjadi
hening. Pada saatnya, sunyi, menjadi hal yang paling mengeri-kan. Posisi yang
amat kuat berpotensi tidak hanya menggerus segenap suara kritis, juga
menjadikan suara kritis tersebut aneh dan konyol.
Banyak
pihak mengatakan bahwa civil society dapat memerankan diri sebagai pressure
group agar DPR kembali bergairah melaksanakan kebebasannya sebagai wakil
rakyat. Meskipun agak pesimistis, karena civil society tidak memiliki
instrumen yang efek-tif untuk melakukan hal itu, namun sehelai harapan tetap
perlu digantung-kan. Harapan tipis itu kiranya dapat kita sangkutkan pada wakil
rakyat yang partai-nya tidak tergabung dalam koalisi pemerintah, yaitu, PDI-P,
Gerindra, dan Hanura, meskipun ketiga partai ini tidak terlalu besar memberikan
harapan.
Lebih
memprihatinkan lagi, bisa jadi, bagi beberapa anggota hak angket di-gunakan
untuk memperkuat bargaining dengan pemerintah. Pada konteks tersebut,
sebagian anggo-ta DPR cuma membonceng hak angket untuk dijadikan alat bargain-ning
politik atau uang. Buktinya, banyak anggota DPR yang menggebu-gebu pada
awal pengajuan hak angket, namun akhirnya berubah sikap. Kegagalan-kegagalan
hak angket terdahulu dan mandeknya hak angket Century dapat memperkuat pendapat
tersebut.
Selain
besarnya godaan bagi anggota DPR, kesulitan lain untuk mendorong penggunaan hak
angket adalah manuver pemerintah. Sejak semula, sudah ada upaya untuk merangkul
semua kekuatan politik di DPR. Upaya itu dilakukan dengan me-nempatkan wakil
partai politik untuk menjadi anggota kabinet. Dengan pembagian itu, baik
langsung maupun tidak langsung, partai politik yang punya kursi di kabinet akan
kesulitan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Sejauh ini, sikap
“abu-abu” cenderung dipertontonkan oleh F-PPP, F-PAN, dan F-KB (Toto Sugiarto,
2009).
Cara
pandang yang lebih sederhana, kalau partai politik sudah mendapatkan kursi di
kabinet, berarti partai bersangkutan sudah menyatakan bergabung dan
me-nundukkan diri untuk mendukung kebijakan pemerintah. Pendapat ini menjadi
ma-kin kuat karena kebe-radaan fraksi (sebagai perpanjangan kepentingan partai
politik) begitu dominan dalam pro-ses pengambilan keputusan di DPR. Karena
posisi demi-kian, fraksi selalu dijadikan alat oleh berbagai kepentingan untuk
melumpuhkan se-gala macam pemikiran kritis yang berkembang di DPR.
Untuk
memperbaiki praktik ketatanegaraan ke depan, anggota DPR yang akan menggunakan
hak angket perlu mengubah cara yang ditempuh selama ini. Salah satu caranya,
mengelaborasi secara mendalam tentang makna "kebijakan pemerintah yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".
Kalau itu bisa dilakukan, upa-ya setiap pengusul hak angket akan semakin
mendapai tempat di mata publik.
Pada akhirnya hak angket lebih cenderung bersifat politis. Para pemegang hak
ter-sebut hanya cari aman saja, baik berlindung di ketiak pemerintah agar
mendapat jatah kursi kabinet, maupun berlindung atas nama rakyat untuk menarik
simpati, se-hingga pemilu selanjutnya dapat meraih suara yang diharapkan bisa
lebih mending-krak perolehan suara mereka. Politik dan parlemen sesuatu yang
tidak bisa dipisah-kan, keduanya berbanding lurus. Semakin banyak anggota
parlemen, maka kekuatan politis akan semakin kuat. Seperti hal-nya pemerintahan
pada periode 2009-2014, kekutan politik begitu besar baik pada pemerintah
maupun parlemen. Kedua lembaga negara tersebut berasal dari partai yang sama
sehingga ada semacam keraguan dari DPR untuk memeriksa bahkan mengawasi pun
terkesan hanya setengah-setengah.
Efektif
atau tidak hak angket selama ini jelas mendapat penafsiran yang ber-beda.
Pemerintah akan beranggapan bahwa setiap kebijakan yang mereka ambil telah
sesuai dengan Undang-Undang, sehingga tidap perlu dipertanyakan lagi dan tidak
perlu adanya hak angket. Sedangkan DPR akan beranggapan bahwa mereka sudah
melakukan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, jadi hak angket telah
efektif normatif.
Mempersandingkan
situasi politik di tubu legislative Kabupaten Humbang Hasundutan terkait
bergulirnya hak angket DPRD yang kondisi terkini sedang berjalan. Akankah
menjadi sejarah buruk atau justru sebaliknya. Pun tak tahu. (***)
Sumber
: Subardjo Fhuad
Komentar
Posting Komentar